Thursday, January 4, 2018

Menggali kandidasi kepala daerah Sumatera Utara

Mencari pemimpin yang tepat pada perhelatan pilgubsu di Sumut
Sebagai provinsi perkebunan, Sumatera Utara memberikan dukungan ekonomis yang cukup besar bagi perkembangan negara Republik Indonesia. Di lain hal, provinsi ini juga memiliki keberagaman budaya yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kehidupan sosial dan ekonomis masyarakatnya. Di tahun 2018 ini, masyarakat Sumatera Utara pun akan diberikan tanggung jawab untuk memilih kepala daerah yang nantinya selama lima tahun mampu untuk memanfatkan potensi ini. Namun, siapakah?

Dirasah Ilmu – Sejak tahun 2005, kepala daerah di Sumatera Utara terpilih karena proses “abdikasi criminal” yang disebabkan oleh berbagai hal. Tak hanya korupsi, kolusi dan nepotisme, persoalan rumah tangga pun menjadi pemicu untuk melakukan abdikasi tersebut. Namun, terlepas dari setiap permasalahan yang dikemukakan selama hampir dua dekade terakhir, prestasi terbesar yang dirasakan oleh masyarakat Sumatera Utara hanya terbatas pada infrastruktur transportasi semata berupa pembangunan bandara dan pelabuhan di beberapa wilayah kabupaten.

Sektor lain seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta peningkatan peradaban masyarakat tergolong rendah. Meskipun pengunjung pada Istana Maimoon meningkat drastis, fasilitas pendidikan, kesehatan dan kebudayaan hanya dibangun semata-mata untuk membuat mata masyarakat nyaman. Sebut saja seperti fasilitas gedung, jaringan internet nirkabel, perpustakaan sekolah yang tidak optimal. Sementara itu, tempat-tempat publik yang befungsi untuk meningkatkan peradaban masyarakat seperti museum, taman-taman kota tak tersentuh oleh pemerintah secara maksimal.

Namun demikian, ukuran kandidasi yang dimaksud oleh penulis bukan terletak pada keberagaman proyeksi kerja yang ditawarkan oleh para kandidat yang muncul saat ini.

Ukuran Kandidasi Kuno dan Modern
Sepanjang penulis mengikuti proses pemilihan umum baik daerah maupun nasional (legislatif dan eksekutif), ada tiga hal yang digunakan para kandidat untuk dapat terpilih berupa pelayanan kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur jalan. Dengan ketiga program utama tersebut masyarakat menganggap bahwa sektor-sektor ini adalah hal yang esensial. Kecenderungan untuk memilih kandidat berdasarkan ketiga program ini berujung pada ketidakpedulian pada karakteristik seorang kepala daerah sebagai pemimpin.

Dalam ajaran Islam, karakteristik kepemimpinan tersebut dibangun atas tiga hal berupa SAFT, yaitu Shiddiq, Amanah, Fathanah, dan Tabligh. Namun, diskursus karakteristik kepemimpinan saat ini seolah-olah taboo untuk dibicarakan bahkan untuk dijadikan pedoman bagi mereka para kandidat untuk dijadikan jargon kampanye. Maka dari itu, penulis mencoba mengukur dari konteks fiqh yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Sehingga para pembaca dapat menilai apakah ukuran ini pantas untuk dijadikan acuan, atau bahkan irrelevant di zaman modern ini.

Seorang sahabat menjawab pertanyaan penulis mengenai apa hal yang pertama sekali harus dilakukan untuk mempelajari Fiqh, maka ia menjawab, “Taharah” yang artinya bersuci. Mengapa demikian? “Ia melanjutkan, bagaimana mungkin engkau bisa belajar apabila dirimu tidak bersuci?” Maksudnya? “Kebersihan secara fisis akan membawamu pada kebersihan hati dan niat, sehingga mudah bagimu untuk belajar”. Itulah mengapa, dalam mempelajari ilmu Fiqh atau syariat Islam hal yang pertama sekali dibahas ialah “Bersuci” atau dalam Bahasa umum ialaah “Kebersihan”.

Maka, beranjak dari pemahaman tersebut ukuran kandidasi yang terbaik ialah dengan menonjolkan program-program tentang kebersihan. Sebut saja seperti janji kampanye tentang “Sumut Sehat” dengan cara menggratiskan uang berobat. Hal ini tentu akan menjadi lahan basah bagi mereka untuk setiap tahunnya mengalokasikan dana untuk perobatan rakyat, mungkin dengan istilah sekarang BPJS. Artinya, setiap janji kampanye yang disebutkan ditulis sedemikian rupa sehingga samar bagi pembaca bahwa meskipun itu terlihat long-term solution tapi justru itu short-term solution. Bukankah istilah, “Mencegah lebih baik dari mengobati?”

“Kebersihan adalah sebahagian dari Iman” adalah salah satu pepatah yang sering terdengar. Berdasarkan pepatah tersebut ia dapat berkembang pada konteks lapangan kerja, pendidikan dan lingkungan. Sebut saja seperti janji kampanye, “Pengelolaan sampah berdaya guna untuk Sumut Bersih” yang apabila dikelola dengan baik dapat menghasilkan gas metana yang digunakan sebagai sumber energi listrik ataupun panas untuk memasak. Selain itu, dengan adanya pengelolaan sampah, dapat dibayangkan sektor lapangan pekerjaan yang tercipta mulai dari pengumpulan sampah, pengelolaan sampah, dan hasil pengelolaan sampah.

Di lain hal, pemanfaatan sampah mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang lingkungan sehingga mereka memahami dampak lingkungan. Tentunya, pemerintah akan melakukan bentuk-bentuk penyuluhan dan workshop bagi masyarakat, sehingga mereka terlibat secara aktif. Di sektor pendidikan, solusi krisis energi yang telah diatasi memunculkan dana yang cukup untuk meningkatkan fasilitas dan infrastruktur pendukung sekolah. Dengan demikian, makna “Bersihnya seorang pemimpin” dapat diukur dari program-program nyatanya yang secara langsung tertuju pada konsep “Taharah/ Bersuci/ Kebersihan”.

Islam dan Taharah
Bagi anda ummat Islam, Surah Al-Ankabut ayat 45 menyatakan tentang ibadah dalam mencegah perbuatan keji dan munkar. Namun, khususnya bagi anda para kader organisasi tertentu yang memiliki diskursus ini justru tersandung pada ranah pemahaman praktikal. Konteks praktikal yang dimaksud adalah Taharah sebelum beribadah yang dalam pengertian manusia mencoba untuk membersihkan dirinya dari kotoran-kotoran fisikal untuk mencapai kebersihan secara spiritual. Jadi, sederhananya adalah konsep “kebersihan” secara fisikal haruslah ditegakkan sebelum menjadi seorang Imam.

Nah, bagaimana seorang kepala daerah dapat menjawab problematika yang didapat di masyarakat Sumatera Utara pada konteks sosial dan ekonomi? Maka jawabannya adalah bangunlah sarana dan infrastruktur terkait dengan kebersihan, bukan kesehatan, pendidikan, ataupun energi terlebih dahulu. Hal inilah yang mungkin disadari oleh walikota Bandung tentang kebersihan kota melalui pemanfaatan taman-taman dan pohon-pohon kota.

Sebagai kesimpulan, hemat penulis, ukuran kandidasi yang terbaik bagi kepala daerah Sumatera Utara ialah mereka yang peduli tentang kebersihan. Dengan mencoba membersihkan diri dari kotoran-kotoran fisikal, maka si kandidat telah mencoba untuk menghindarkan dirinya dari hal-hal yang bersifat kotor sehingga ia akan menuju kepada kebersihan spiritual.

0 comments: