Monday, December 11, 2017

Masyarakat Medan butuh taman dan hutan kota

Merdeka Walk di Lapangan Merdeka sudah menjadi tempat bagi kalangan menengah ke atas
(foto credited to kedaipenadotcom)
Sebagai kota metropolitan, Medan terus berbenah sampai sekarang. Baru-baru ini pemerintah kota dan provinsi memperbaiki trotoar dan drainase yang diperuntukkan untuk memberikan keleluasaan para pengguna jalan. Memang, salah satu yang terpenting dari pembangunan hari ini ialah infrastruktur jalan. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pembangunan juga harus bersifat long-term, yaitu public satisfaction.

Dirasah Ilmu – Tak diragukan lagi, salah satu kiblat pembangunan kota yang didamba-dambakan oleh masyarakat Indonesia adalah pembangunan yang terkait satu sama lain, seperti yang saat ini terjadi di kota Bandung. Melalui walikotanya, Ridwan Kamil, melakukan perbaikan di berbagai sektor mulai dari keamanan, kenyamanan, kebersihan dan bahkan ketertiban. Lihat saja seperti di awal kepemimpinannya dengan memperbaiki taman-taman kota yang mungkin sekarang beralih fungsi menjadi hutan-hutan kota. Atau dengan memperbaiki fasilitas-fasilitas publik seperti rumah ibadah, halte, dan trotoar. Asumsi penulis inilah yang difahami oleh Kang Emil dengan memperhatikan tingkat kepuasan masyarakat terlebih dahulu.

Beda halnya dengan kota Bandung, meskipun dulunya sempat dijuluki sebagai Paris van Sumatera, Medan mengalami disorientasi pembangunan. Taman-taman kota dialihfungsikan menjadi tempat-tempat modern yang diisi oleh berbagai macam jenis café, resto, dan restoran seperti yang terjadi di Lapangan Merdeka, taman di depan stadion teladan, dan kini yang sudah tinggal kenangan ”Taman Deli”. Selain itu, situs-situs warisan sejarah kemerdekaan Indonesia pun telah diratakan dan dibangun gedung-gedung seperti yang terjadi di Hotel Adi Mulia, Hotel Grand Aston pusat Kota, Grand Jati Junction, dan mungkin saat ini situs warisan “Titi Gantung” akan hilang karena tidak difungsikan lagi. Dan keadaan tersebut diperparah dengan banyaknya café, restoran yang berasal dari asing.

Disorientasi pembangunan ini disebabkan oleh ketidaksadarannya Pemerintah kota maupun provinsi Sumatera Utara untuk memahami makna pembangunan yang bersifat kesinambungan dan berkaitan. Korelasi antara satu pembangunan dengan lainnya dapat mengakibatkan shock culture atau keterkejutan budaya yang akhirnya berdampak pada perilaku masyarakatnya. Hal ini yang mungkin disadari oleh Kang Emil namun tidak disadari oleh beberapa kepala daerah di Indonesia, bahwa fondasi awal pembangunan itu ialah general satisfaction. Setelah itu lalu diikuti dengan pembangunan di sektor-sektor lain seperti ekonomi, perdagangan, pariwisata, perindustrian dan semacamnya.

Hutan dan taman kota
Lalu, mengapa harus taman kota atau hutan kota? Sebagai orang Medan, kondisi lalu lintas kota Medan sudah cukup parah sehingga muncul sebuah kejenuhan bagi mereka yang menggunakan jalan. Alhasil, pelampiasan rasa kecewa, amarah, dan emosi dilakukan dengan bertindak ceroboh di jalanan. Sebut saja seperti mencuri jalan, tidak sabar untuk menunggu, dan yang paling masuk akal ialah menggunakan klakson atau horn meskipun ia masih berjarak puluhan meter dari lampu merah. Artinya, tingkat kepuasan di kota Medan saat ini sangat rendah dengan berbagai bentuk perilaku menyimpang khususnya di jalanan.

Perbaikan fasilitas publik seperti rumah ibadah, halte, taman kota, hutan kota bertujuan untuk mengurangi ketidakpuasan tersebut. Secara tidak langsung bagi masyarakat, layanan fasilitas publik yang menyenangkan adalah tempat bagi mereka untuk beristirahat sebelum sampai di rumah. Tentunya, hal ini dapat memberikan kenyamanan dan ketertiban bagi mereka yang sebenarnya bisa singgah untuk melepaskan kepenatan selepas bekerja. Fasilitas publik seperti taman dan hutan kota adalah tempat bagi masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas termasuk diantaranya adalah interaksi sosial. Bahkan studi yang dipublikasi di tahun 2014 di jurnal Procedia Social and Behavioral Sciences menyatakan bahwa rakyat kota Medan itu sangat membutuhkan area terbuka yang bisa digunakan sebagai tempat bercengkerama dan berinteraksi meskipun keadaannya buruk.

Sebagai kesimpulan, sangat disayangkan memang sedikitnya tindakan yang dilakukan oleh pemerintah kota dan provinsi dalam menyikapi hasil studi tersebut. Kualitas hidup yang didasari atas kepuasan publik terhadap ketersediaan public open space berada di tingkat yang cukup rendah. Apalagi di tahun 2017 ini justru banyak pembangunan yang bersifat swasta sehingga memperparah tingkat kepuasan masyarakat. Seharusnya pemerintah kota dan provinsi berperan aktif dalam hal ini apalagi saat ini sedang marak-maraknya pilkada gubernur.

0 comments: