Tim peneliti dari Korea Selatan menemukan metode yang lebih efektif dalam produksi hidrogen fuel |
Dirasah Ilmu – Persoalan yang paling utama dalam proses produksi hidrogen adalah efektifitas dan efisiensi. Untuk menghasilkan sejumlah mol gas hidrogen dibutuhkan energi yang sangat besar sehingga memakan biaya yang cukup mahal. Sementara itu, hidrogen umumnya diproduksi dari dua hal yaitu senyawa hidrokarbon ataupun dari air yang untuk memecah satu molnya dibutuhkan ratusan atau hingga ribuan kilojoule energy. Hal ini menjadi tantangan bagi para ilmuwan maupun peneliti untuk menghasilkan sebuah metode yang baru dalam produksi hidrogen.
Produksi hidrogen dilakukan dengan cara elektrolisis dengan menggunakan proses elektro-kimia. Pada proses ini, terjadi reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang merupakan penurunan bilangan oksidasi (oksigen) pada senyawa-senyawa yang ada pada proses reaksi. Untuk melakukan hal tersebut, listrik dialiri melalui sel elektrolisis (sel volta) sehingga energy listrik mengalir melewati senyawa mengadung unsur hidrogen. Melalui bantuan larutan kimia berupa larutan elektrolit, proses pemisahan unsur-unsur dalam satu senyawa dapat terjadi akibat karakteristik setiap elektron pada masing-masing unsur. Dengan demikian, gas-gas seperti hidrogen dan oksigen dapat terlepas sehingga dapat ditangkap dan disimpan.
Akan tetapi, seperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa setiap proses elektrolisis membutuhkan sejumlah energy yang cukup besar. Dibutuhkan dua hal penting berupa elektrik dan kimiawi untuk memecah ikatan hidrogen yang ada. Sebagai contoh, ikatan antara atom hidrogen dan oksigen pada satu molekul air berjumlah 286 KJ sehingga untuk memecahnya dibutuhkan ribuan hingga puluhan ribuan volt tegangan listrik hanya untuk memecahnya dalam satu mol. Akibatnya, lebih baik mencari atau menggunakan sumber energy alternatif yang baru seperti gas metana, atau biofuel seperti bioethanol.
Hidrogen Fuel Menjadi Energi Alternatif di Masa Depan |
Seperti namanya, metode ini melibatkan dua sistem untuk mendapatkan efisiensi penggunaan energi. Hybrid yang dimaksud adalah pemanfaatan Solid Oxide Electrolyzer Cell (SOEC) yang mampu bekerja pada suhu tinggi sekitar 700 hingga 1000 derajat Celsius. Dan pada metode ini SOEC yang digunakan berjumlah dua berupa oxygen ion conducting SOECs dan proton conducting SOECs. Lalu, apa bedanya? Nah, prinsip elektrokimia menggunakan larutan elektrolit dalam proses elektrokimia-nya. Sementara itu dengan adanya sel elektrokimia berbentuk padatan membuat proses penggunaan energi yang sebelumnya mengoptimalkan energi listrik dapat diganti dengan energi panas. Disamping itu, kehadiran sel elektrolit berbentuk padatan dapat meminimalisir terjadinya korosif dan mencegah habisnya sel elektrolit akibat menguap.
SOEC sebagai peng-elektrolisis mampu menghantarkan ion-ion hydrogen maupun oxygen saja. Hal ini disebabkan adanya SOEC selektif khusus untuk oksigen dan proton (hydrogen memiliki satu buah elektron dan proton), sehingga optimalisasi produksi baik hanya oksigen maupun hydrogen dapat diperoleh. Sebagai contoh, pada saat para peneliti memisahkan hidrogen dan oksigen dalam air terjadi perbedaan penghantaran baik di katode maupun di anode. Pada saat proses hidrolisis air, oksigen dihantarkan menuju katode sedangkan hidrogen ke arah sebaliknya yaitu hidrogen. Sehingga laju produksi hidrogen yang didapatkan lebih banyak dari metode sebelumnya serta lebih terjangkau, efektif, dan ramah lingkungan. Hasil produksi dari penelitian tersebut berupa 1,9 liter hidrogen yang diproduksi setiap jam dengan sumber tegangan 1.5 Volt pada suhu 700 Celsius.
Menariknya, kehadiran lapisan perovskite pada SOEC juga dapat mencegah terjadinya pembentukan kembali air. Selanjutnya sebagai kesimpulan, campuran sel SOEC memberikan efektifitas yang lebih baik dari sebelumnya karena adanya selektivitas penarikan ion-ion tertentu berupa ion hidrogen dan oksigen.
0 comments: